Hukum Bunga Bank

0
4716
hukum bunga bank

Keharaman Riba

Ulama sepakat bahwa riba hukumnya haram, sesuai dengan nash al-Qur’an dan hadits berikut:

اَلَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا، فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ. وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة: 275)

“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak bangkit (dari kuburnya) melainkan seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila. Kondisi yang menimpa mereka itu sungguh disebabkan mereka berkata: ‘Niscaya jual beli itu seperti riba (dalam kebolehannya, lalu Allah berfirman menolaknya: ‘Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’. Karenanya, barang siapa telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, kemudian berhenti (dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan itu), dan urusan(ampunan)nya (terserah) kepada Allah; dan orang yang kembali (mengambil riba), maka mereka adalah para penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 275)

لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ. ( حم د ت ه ) عن ابن مسعود. ( صح )

“Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkan, saksi dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud at-Tirmidzi dan Ibn Majah. Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud t. Shahih.)

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا. (رواه الحارث بن أبي أسامة في مسنده عن علي رفعه)

“Setiap akad hutang-piutang yang menarik keuntungan (bagi orang yang menghutangi) maka merupakan riba.” (HR. al-Harits bin Abi Usamah dalam kitab Musnadnya. Diriwayatkan dari Ali t yang memarfu’kannya.)

Pembahasan Bunga Bank Konvensional di Lingkungan Nahdlatul Ulama

Namun demikian, berkaitan dengan hukum bunga bank kovensional ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi perbedaan dalam melihat hakikat praktek transaksi yang ada dalam sistem perbankan konvensional. Di lingkungan Nahdlatul Ulama pembahasan hukum bunga bank juga sudah dilakukan berkali-kali.

Di antaranya pembahasan pertama, Muktamar NU Ke-12 pada 12 Rabiuttsani 1356 H/25 Maret 1937 memutuskan: “Adapun hukumnya bank dan bunganya, itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar Ke-2 nomor 28.”[1] 

Pembahsan kedua, Muktamar NU Ke-25 pada 20-25 Desember 1971 M dalam pembahasan tentang Mendepositokan Uang di Bank memutuskan:

“Berdasarkan Keputusan Konggres (Muktamar) NU Ke-12 tahun 1973 soal nomor 204, Keputusan Konggres (Muktamar) NU Ke-2 tahun 1927 soal nomor 28, maka hukum mendepositokan uang kepada bank tersebut ada tiga pendapat, yaitu (a) haram, (b) halal dan (c) syubhat.” [2] 

Pembahsan ketiga, sebenarnya terdapat pembahasan yang lengkap tentang bunga bank, yaitu dalam Munas Alim Ulama NU pada 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M dalam pembahasan tentang Bank Islam.[3] Namun, mengingat sejauh ini tidak ditemukan rujukan (referensi kitab) yang jelas dalam pembahasan tersebut, maka Bahtsul Masail Syuriah PWNU Jawa Timur 2020 di Lamongan sepakat untuk tidak merujuk keputusan tersebut.

Hukum Bunga Bank Konvensional Perspektif Ulama Kontemporer

Sebagaimana perbedaan pendapat yang terjadi di lingkungan Nahdlatul Ulama, di lingkungan ulam kontemporer juga terdapat perbedaan pendapat mengenai bunga bank konvensional, identik dengan riba dan hukumnya haram, atau tidak. Berikut ini penjelasannya.

Penjelasan Syekh Ali Al-Jumah: Hukum Bunga Bank Diperselisihkan Ulama

Sejak kemunculan bank di masa modern, para fuqaha telah berbeda pendapat dalam menjelaskan hakikat bank sebagaimana perbedaan ahli hukum (undang-undang) dan ahli ekonomi dalam memahami bank. Apakah transaksi antara nasabah dan bank adalah transaksi hutang piutang, sebagaimana dikatakan para ahli hukum; atau transaksi tersebut adalah transaksi investasi, sebagaimana diungkapkan oleh para ahli ekonomi. Perbedaan deskriptif ini didasari atas perbedaan dalam memandang kenyataan bank konvensional. Orang yang menganggap transaksi ini sebagai hutang maka transaksi ini digolongkan sebagai hutang yang menarik manfaat, karenanya dikategorikan sebagai termasuk riba yang diharamkan.

Seiring dengan perbedaan tersebut,  fatwa ulama tentang bank berbeda-beda. Pendapat pertama menganggap bahwa transaksi dengan bank termasuk sangat urgen bagi manusia sekarang, sehingga boleh dilakukan oleh setiap muslim ketika dalam konsisi membutuhkan. Hal ini didasarkan atas kaidah ad-dharurah tubihul mahdurah, kondisi darurat (untuk memenuhi kebutuhan primer) dapat membolehkan perkara yang haram, yang disarikan dari firman Allah I:

… فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ … (البقرة: 173)

“Barang siapa terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.

Pendapat kedua, transaksi dengan bank tidak termasuk kategori darurat. Karena darurat secara syariat didefiniskan dengan hal yang jika tidak digunakan oleh seseorang, maka ia akan mati atau hampir mati. Namun di antara ulama ini, ada beberapa yang memperbolehkan transaksi tersebut. Hal ini dikarenakan ada kaidah:

اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ، عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً.

 “Hajat (kebutuhan sekunder) menduduki posisi kedaruratan (kebutuhan primer), baik hajat tersebut bersifat umum maupun khusus.”[4]

Pendapat ketiga, menganggap transaksi dengan bank sebagai transaksi investasi. Sehingga sebagian di antara ulama yang berpendapat seperti ini ada yang menggolongkan transaksi tersebut ke dalam jenis mudharabah yang tidak sah, namun masih memungkinkan diabsahkan dengan akad ijarah atau sewa-menyewa.

Pendapat keempat, yang juga menganggap transaksi dengan bank sebagai transaksi investasi,  menyatakan bahwa transaksi dan akad dengan bank adalah transaksi dan akad jenis baru yang tidak dikenal di dalam khazanah turats fikih Islam. Akhirnya mereka berijtihad dengan ijtihad yang benar-benar baru, sebagaimana para fuqaha Samarkand berijtihad dalam bay’ al-wafa yang dianggap sebagai transaksi jenis baru—juga seperti Syaikh al-Islam Abu Su’ud yang berijtihad dalam akad muamalah yang beliau hukumi halal—, sebagaimana para ulama terdahulu menghukumi halal bai’ al-wafa’ karena beberapa alasan, yaitu: mempertahankan kemaslahatan, kebutuhan yang mendesak, terlalu sering ditransaksikan di pasar, mengatur kehidupan, menyesuaikan dengan masa perkembangan transportasi dan komunikasi, teknologi terbaru, bertambahnya penduduk, ikatan sosial yang lemah, berkembangnya ilmu akuntansi dan pembukuan, indepedensi syakhshiyyah   i’yibariyah (sya’shun ma’nawi; berbagai lembaga atau instansi yang punya hak sebagaimana manusia)dari manusia alami, dan selainnya.

Dari fakta khilafiyah tentang hukum bank, Syaikh Ali Jum’ah berkesimpulan bahwa perbedaan tersebut terjadi dalam hal bertransaksi di dalam dan bersama bank, memahami konsep bank, menghukumi bank, serta berfatwa dalam urusan bank.

Selain itu Syaikh Ali Jum’ah juga menyatakan bahwa kaidah yang sesuai dengan legal-formal syariat telah menyatakan:

Pertama, permasalahan yang boleh diingkari adalah meninggalkan hal-hal yang disepakati harus dilakukan atau melakukan hal-hal yang harus ditinggalkan. Sementara permasalahan yang masih diperselisihkan ulama tidak boleh diingkari. Kedua, menghindari khilaf hukumnya sunnah. Ketiga, bagi orang yang terpaksa melakukan hal-hal yang masih diperselisihkan ulama sudah seharusnya untuk taklid atau mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan.

Lebih lanjut ia mejelaskan, bahwa berangkat dari fakta perbedaan pendapat ulama tersebut, bila seseorang mengikuti pendapat yang menghalalkan harta bank, maka secara syariat tidak bermasalah baginya mengambil bunga bank dari harta yang didepositkan di bank. Ia juga boleh menggunakan uang itu sesuai keinginannya. Namun bila seseorang mengikuti pendapat yang mengharamkan harta pun yang berasal dari bank, maka ia boleh menasarufkan (membelanjakan) bunga bank dari hartanya (yang simpan di bank) pada berbagai sektor sosial (jihat al-khair) apapun.[5]

Penjelasan Syekh Wahbah az-Zuhali: Kesangsian atas Hukum Kehalalan Bank

Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, transaksi dengan bank termasuk akad qard dan hukumnya haram. Beliau menyangsikan pendapat yang mengategorikan transaksi dengan bank bukan sebagai akad qard. Di antara keberatannya adalah:

  1. bank bukanlah lembaga pengembangan harta;
  2. bagi hasil yang terjadi antara nasabah dan bank tidak disesuaikan dengan kalkulasi untung rugi yang dibenarkan secara syar’i (sebagaimana dalam konsep mudlarabah);
  3. keuntungan antara pihak bank dan nasabah sudah dipastikan terlebih dahulu;
  4. Kemudharatan riba dalam bunga bank sangat nyata. [6]

Baca Juga: Kumpulan Hasil Bahtsul Masail

Daftar Pustaka

  1. Tim LTN PBNU. 2019. Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2015 M, Surabaya: Khalista, ed.: A. Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha AM.
  2. As-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr. 1403 H. Al-Asybah wa an-Nazhair, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  3. Jum’ah, Ali. 2013 M. Al-Kalim at-Thayyib Fatawa ‘Ashriyyah, Kairo: Dar as-Salam, cetakan ke-3.
  4. Az-Suhaili, Wahbah. Tth. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr.

[1] Baca selengkapnya Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2015 M, (Surabaya: Khalista, 2019), ed.: A. Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha AM, 199-201. Sedangkan berkaitan dengan hukum gadai yang yang dimaksud, Muktamar Ke-2 pada 12 Raniuttsani 1346 H/9 Oktober 1927 M dalam pembahasan tentang Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya, memutuskan:

“Dalam hal ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):

  1. haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente);
  2. halal: sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang masyhur, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat;
  3. syubhat (tidak tentu jelas halal haramnya): sebab para ahli hukum berselisih pendapat. Adapun Muktamar memutuskan, bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram).” Baca selengkapnya, Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, 30-31.

[2] Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, 350.

[3] Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, 473-475.

[4] Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H), 88.

[5] Ali Jum’ah, al-Kalim at-Thayyib Fatawa ‘Ashriyyah, (Kairo: Dar as-Salam, 2013 M), cetakan ke-3, 147-148.

[6] Wahbah az-Suhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), V/400-401, V/409-411, V/449 dan VII/86-89.

Judul Asli: Hukum Bunga Bank Konvensional Perspektif Fikih Islam

KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL SYURIYAH PENGURUS
WILAYAH NAHDLATUL ULAMA JAWA TIMUR
di PP. Matholi’ul Anwar Jalan Raya Simo, Sungelebak, Karanggeneng,
Lamongan Sabtu-Ahad, 5-6 Rajab 1441 H/29 Februari – 1 Maret 2020

Baca Juga: File Asli Keputusan Hasil Bahtsil Masail

Business photo created by freepik – www.freepik.com