HOAX: BENTUK KEKUFURAN? Perspektif KH. Hasyim Muzadi

0
46

Dapatkah penyebar hoax, berita tak berdasar fakta, disebut sebagai fasiq—pelanggar perintah Allah? Kalau menggunakan tafsir beberapa ayat dalam Alquran, maka penyebar hoax sangat mungkin disebut fasiq. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh agama dan Allah mendudukkan kaum fasiquun—pelaku sifat fisq, sederajat dengan pelaku kufr—pelaku kekufuran. Dalam bingkai ini, maka penyebar hoax secara sadar telah menyeret dirinya menuju bibir sumur kekufuran.

Pelaku kufr disebut dengan kaafir. “Afaman Kaana Mu’minan Kaman Kaana Faasiqan? Laa yastawuun–Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq? Mereka tidak sama. (As Sajdah : 18). Dalam potongan ayat ini, Allah menjelaskan bahwa dalam ukuran tertentu, orang-orang fasiq berdiri berseberangan dan berada dalam kutub yang berhadap-hadapan dengan kelompok orang beriman. Allah tegaskan tak sama orang fasiq dengan orang beriman.

Dalam kaitan inilah, kita tengah dirundung kesedihan teramat sangat kibat merebaknya hoax. Ada kelompok tertentu menggunakan hoax sebagai senjata untuk mengalahkan lawan-lawannya. Ada kelompok petualang yang sengaja memancing di air keruh untuk menyulut keresahan. Ada sekelompok orang dengan target dan tujuan tertentu, menyiksa bangsa dengan kabar tak berdasar, berita-berita yang disadari telah membuat tiang-tiang persatuan kita berderak.

Deraknya terasa kencang dan kuat karena sudah menyentuh sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau dibiarkan, akan muncul sikap saling curiga, menumbuhkan bibit permusuhan, saling intai, saling intip, dan saling memendam bara. Bara dendam ini, jika dibiarkan, akan menjadi sebab rusaknya harmoni sosial yang yang selama sekian tahun kita bangun. Di beberapa negeri lain, hoax telah menyebabkan perang saudara. Di Timur Tengah, contohnya.

Di surah lain, Allah memberi gambaran bagaimana kita seharusnya bersikap dan menyikapi penyebar hoax. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS 49 : 6). Sangat berbahaya, jika kita mengabaikan perintah “fatabayyanuu”, lakukanlah klarifikasi dan verifikasi.

Dalam kehidupan yang dipenuhi dengan sebaran hoax yang luar biasa, di mana sebagian masyarakat mulai kurang percaya terhadap lembaga dan institusi resmi, maka klarifikasi dan verikasi, mesti dilakukan hatta terhadap orang-orang yang punya kedudukan tertentu sekali pun. Ayat ini, demikian salah satu asbabun nuzulnya, juga karena kasus yang menyangkut nama seseorang yang justeru berkedudukan sebagai “utusan” baginda Muhammad SAW.

Adalah al-Walid Ibn ‘Uqbah Ibn Abi Mu’ith yang ditugaskan Nabi untuk menerima hasil pengumpulan zakat di lingkungan Bani al-Musthalaq. Begitu sampai kabar bahwa akan datang seorang petugas pemungut zakat utusan Rasul, masyarakat keluar rumah bersiap memberi sambutan. Rupanya al-Walid salah sangka. Ia mengira orang-orang keluar rumah karena ingin memberi perlawanan. Berencana menyerangnya. Menyerang petugas zakat yang diperintahkan Rasulullah.

Ia balik kanan dan melapor kepada Nabi. Isi laporannya : bani al-Musthalaq enggan membayar zakat dan bermaksud menyerang Nabi. Dalam riwayat lain bahkan disebutkan mereka telah keluar dari Islam alias murtad. Tentu saja Nabi tidak serta merta memercayai kabar itu. Beliau meminta sahabat Khalid Ibn Walid RA untuk mencari tahu. Melakukan klarifikasi dan verifikasi. Hasilnya : mereka mengumandangkan azan dan melakukan shalat berjamaah.

Menyebar berita tak benar adalah perbuatan fasiq. Dalam bahasa Arab, berita disebut “khabar”. Tetapi dalam ayat di atas, yang diingatkan bukan sekadar khabar tetapi “naba-un”. Naba-un bukan semata berarti berita atau kabar. Naba-un adalah berita penting, terkait kehidupan banyak orang, menyangkut hajat orang banyak, dan persoalan yang kalau tidak disikapi dengan benar akan mengganggu ketertiban umum dan harmoni sosial. Taat bayar zakat adalah bukti pelaksanaan rukun Islam.

Tak bayar zakat, berarti mengabaikan rukun Islam. Ayat 6 surah al-Hujuraat diawali ; “Ya Ayyuhal Ladziina Aamanuu, in Jaa-akum Faasiqun bi naba-in, Fatabayyanuu—Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasiq membawa suatu berita, maka sungguh-sungguhlah mencari kejelasan…” Nah, belakangan, sosial media kita diramaikan oleh ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan hoax. Menyerang secara sistematis dan massif hingga masuk ke ruang-ruang paling private.

Dengan produk gadget yang sudah luar biasa canggih, sebaran hoax mengisi ruang-ruang otak kita yang sebenarnya sudah overload. Sering karena sentimen tertentu, hoax menjadi panduan kita dalam bersikap. Sering pula hoax menjadi penyebab rusaknya hubungan kekeluargaan. Nyaris semua persoalan sehari-hari dibumbui dengan hoax sebagai dasar dan landasannya. Sedihnya, majelis-majelis taklim kita sering juga saling bergesekan akibat hoax.

Setelah disadari demikian berbahayanya penyebaran hoax tersebut, kini tiba saatnya kita duduk bersama. Melakukan tabayyun. Menanyakan benar tidaknya. Menanyakan siapa sumber beritanya. Menanyakan dasar-dasar hukumnya. Menanyakan kenapa berita itu disampaikan. Sebab, tidak semua berita bisa jadi konsumsi semua orang. Ada kalanya berita hanya untuk diketahui dan tak baik untuk disebar. Jangan lupa, menyebar hoax bisa jadi melakukan pekerjaan fasiq.

Pekerjaan fasiq bisa dikategorikan kekufuran. Sebelum kita terjebak dalam framing “kekafiran” ini, ayo kita—kita semua, segera taubat atau memohonkan ampun bagi sesama. Memohon kepada Allah agar Dia berkenan mengampuni kesalahan kita dan mengembalikan kita ke dalam jalinan silaturrahim. Hanya dengan silaturrahmi, perasaan saling curiga dan dendam akan teratasi. Hindari dan buanglah hoax demi kebaikan bersama. Wallaahu A’lamu Bishshowaab.

Oleh: KH A Hasyim Muzadi

sumber : republika.co.id