Hati-hati Pahami Konsep Nahi Mungkar, Tersesat Bisa Jadi Brutal

0
1429
Book on Fire

عن أبي سعيد الخدري قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان». رواه مسلم.

Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim)

Tidak sedikit orang yang salah dalam memahami maksud sebenarnya hadis tersebut. Menelan mentah-mentah bahwa seolah tindakan nahi mungkar harus selalu langsung dilakukan dengan tangan. Meskipun sebenarnya mampu dengan cara selain itu.

Pemahaman yang tepat untuk hadis tersebut adalah, hadis tersebut menjelaskan masalah derajat kemampuan dalam melakukan tindakan amar makruf nahi mungkar. Bila mampu dengan tangan, maka jangan hanya menegur menggunakan lisan. Bila mampu mengingatkan dengan lisan, jangan hanya diam dan tidak setuju dalam hati.

Tapi mekanisme dan praktek dari hadis tersebut sebenarnya jauh berbeda. Sebab kenyataannya dalam kajian tentang amar makruf nahi mungkar, prinsip yang dipakai adalah al-akhaf fal akhaf. Dengan tindakan bertahap. Bila masih memungkinkan menghilangkan maksiat dengan hanya menggunakan sikap ketidaksetujuan, maka tak perlu sampai bicara untuk menegur.

Andaikata dengan sikap saja tidak cukup untuk mengubah seseorang, maka terlebih dahulu menempuh cara dengan nasihat lisan. Tidak boleh langsung tindakan. Jika langsung memakai tindakan, bisa-bisa malah hukumnya haram. Karena bila dengan sindiran saja seseorang sudah mau untuk berubah, jangan kita lakukan hal yang lebih.

Untuk pelaksanaan nahi mungkar dalam kehidupan sehari-hari, kita juga harus memperhatikan tuntunan dalam firman Allah Subhanahuwata’ala,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)

Tingkatan pertama yang dilakukan dalam bab nahi mungkar adalah dengan hikmah, kedua dengan mau’idhotul hasanah. Ketiga dengan jadilhum billati hiya ahsan. Atau adanya suatu ajakan untuk berdialog.

Termasuk hikmah adalah menunjukkan ketidaksetujuan dengan sikap. Namun jika dengan hikmah (sikap) orang lain tidak bisa berubah, maka diberi petunjuk dengan petuah (mau’idhotul hasanah). Dengan catatan, jangan sampai orang yang bersangkutan justru dimaki-maki, diolok-olok, apalagi disakiti. Dan bila dengan metode tersebut masih belum berhasil, maka kita bisa menempuh cara selanjutnya dengan ajakan untuk dialog. Jika semua cara tadi menemui jalan buntu, maka tahapan terakhir adalah dengan tindakan.

Akan tetapi, sebagai catatan penting, yang berhak turun tangan langsung untuk melakukan tindakan hanyalah mereka yang memang memiliki kekuasaan dan wewenang. Yang dimaksud punya kekuasaan disini adalah pemerintah, atau setidaknya orang tua terhadap anaknya.

Jangan sampai bagi yang tidak memiliki wewenang, malah melakukan tindakan. Semisal dengan serampangan gencar melakukan razia dan sweeping. Inisiatif main hakim sendiri tersebut justru bisa saja malah haram dilakukan. Terlebih dalam hukum-hukum yang sifatnya mukhtalaf, masih diperselisihkan ulama. Kita tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti madzhab yang kita anut.

Kemungkaran dalam Tindakan Amar Makruf

Saat seseorang melakukan amar makruf nahi mungkar, ada juga risiko tentang empat dosa kemungkaran didalamnya. Maka kita harus bisa mempertimbangkan antara dosa tidak melakukan amar makruf, dan dosa melakukan amar makruf. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan yang tidak kita sadari.

Empat kemungkaran dalam amar makruf itu sendiri adalah, akhirnya merasa diri sendiri adalah orang yang paling benar, membodohkan dan meremehkan orang lain, tindakan amar makruf nahi mungkar itu menyebabkan terlukainya perasaan orang lain, dan gegabah melakukan amar makruf nahi mungkar didepan banyak orang.

Amar makruf yang dilakukan didepan banyak orang adalah tawbih, atau mencemarkan nama baik. Apalagi jika orang yang bersangkutan tidak ada di tempat. Akhirnya malah niat amar makruf tersebut justru menjurus kepada perbuatan ghibah. Sedangkan yang dilakukan hanya berdua itulah yang disebut dengan nasihat.

وقال الشافعي رضي الله عنه من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ومن وعظه علانية فقد فضحه وشانه

Imam Syafi’i Radhiyallahu’anhu berkata, siapa yang memberikan petuah kepada saudaranya dengan dirahasiakan, maka dia merupakan orang yang menasihati dan menghiasi. Tapi kalau memberikan pitutur didepan umum, maka dia telah mencemarkan nama baik dan menjatuhkan kehormatan seseorang.”

Kita juga harus melihat motivasi amar makruf yang kita lakukan. Apakah kita melakukan amar makruf sekedar karena merasa terganggu dan tidak nyaman, atau kita melakukan amar makruf karena benar-benar hendak menjalankan perintah Tuhan?

Jangan sampai tindakan yang sebenarnya ditumpangi nafsu justru dibungkus dengan syariat.

Wallahu a’lam.

Ditranskrip dari kajian ilmiah Islam K.H. Azizi Hasbullah (Dewan perumus LBM PBNU)

Editor: Muhammad Khoirul Wafa, Aswajamuda Wonosobo.

sumber