Kehebohan akibat statement seorang dai kondang tentang dosa jariyah perempuan yang memajang foto cantiknya di media sosial memang sudah berlalu. Tetapi keresahan perempuan-perempuan yang ingin ber-media sosial dengan menampakkan gambar diri tanpa khawatir dianggap –atau menganggap dirinya- sebagai pelaku dosa jariyah masih terus saja ada, setidaknya hal itu terlihat dari interaksi saya dengan teman-teman maya yang insyaallah ingin menjadi perempuan salihah.
Foto adalah foto, hanya benda mati, tentu hukum memajang foto tidak bisa begitu saja disamakan dengan hukum menampilkan orang. Akan tetapi foto yang ditampilkan di media sosial tentu saja berbeda dengan foto KTP, ijazah, atau paspor. Karena foto yang ditampilkan di dinding media sosial akan memancing reaksi dari orang yang melihatnya.
Dari situ bisa kita simpulkan bahwa foto adalah sebuah benda mati yang hukum asal internalnya adalah mubah/netral. Perubahan hukum akan terjadi karena faktor eksternal. Berbeda dengan orang yang berada di ruang publik tanpa menutup aurat dengan benar, misalnya. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:
والأصل في الأشياء الإباحة ثم قوله الأشياء يشمل الأقوال و الأفعال وغيرهما ويشمل المضار والمنافع
“Hukum asal setiap perkara adalah netral. ‘setiap perkara’ ini mencakup perkataan, perbuatan, dan hal lain, baik yang bermanfaat ataupun yang berbahaya.” (Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Fawaidul Janiyyah, juz 1, halaman 205)
Untuk memutuskan hukum sebuah foto di media sosial kita perlu melihat dari beberapa tinjauan: motifasi, apa yang ditampilkan foto itu sendiri, dan segmentasi viewer.
Maka dari itu, persoalan pajang foto di media sosial ini perlu kita gali lebih jauh supaya pemetaan masing-masing persoalan dan jawaban dapat terurai secara jelas.
Memajang foto di media sosial bisa karena berbagai motivasi. Motivasi, secara umum bisa dinilai dari caption, kebiasaan pemilik akun, atau kiriman-kiriman lain dalam sebuah akun.
Kita bahas yang motivasinya, hanya untuk bersenang-senang demi mendapat apresiasi dan reaksi dari viewer, karena biasanya foto semacam inilah yang rancu dan memicu perdebatan.
Memajang foto semacam ini bisa dikatakan lebih mirip sebuah permainan, dolanan kata orang Jawa, yang hukumnya adalah makruh jika tanpa ada hal lain yang memberatkan. Hukum semacam ini juga berlaku bagi viewer.
ضابط ما يجوز وما يحرم من اللهو واللعب عند الشافعية: الضابط المميز للهو واللعب عند الشافعية: هو أن كل ما لا يترك أثراً نافعاً فهو مباح، وكل ما يترك أثراً ضاراً فهو حرام. وأساس التفرقة في أنواع اللعب: هو أن ما يقوم على تشغيل الذهن وتحريك الفكر كالشطرنج فهو مكروه، وكل ما يقوم على المصادفة وحجب الفكر والعقل كالنرد فهو حرام. وعلى هذا يكون الاسترسال في مجالس اللهو والمزاح مكروهاً ، فإن انضم إليه الكذب أو التهاون في الأخلاق فهو حرام.
“Batas yang memisahkan hukum kesenangan dan permainan dalam madzhab Syafi’I yaitu: segala sesuatu yang tidak meninggalkan pengaruh yang bermanfaat hukumnya adalah mubah/netral. Sedangkan yang meninggalkan pengaruh buruk hukumnya haram. Prinsip pemilahan jenis permainan ini adalah: semua yang menyibukkan hati dan menguras pikiran seperti catur makruh hukumnya, sedangkan yang bersifat kebetulan (untung-untungan) dan menutup pikiran seperti dadu haram hukumnya. Berdasarkan prinsip pemilahan ini, berada di sekitar tempat bersenang-senang dan senda gurau makruh hukumnya. Jika ditambah dengan penipuan atau mengabaikan karakter yang baik hukumnya menjadi haram.” (Syaikh Wahbah al-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 4, halaman 215.)
Bila ditinjau dari foto seperti apa yang dipajang atau konten apa yang ditampilkan oleh sebuah foto maka dikembalikan pada penilaian otak waras secara umum. Apakah bernilai sensual sehingga dianggap sebagai sebentuk provokasi seksual terhadap lawan jenis, memicu pertikaian netizen, atau adakah hal buruk lain yang ditampilkan oleh foto itu sehingga layak dikategorikan haram berdasarkan kebiasaan reaksi netizen waras yang ditimbulkan olehnya.
Mengapa kewarasan sangat penting untuk sebuah penilaian? karena banyak juga netizen over lebay cenderung tidak waras yang akan bereaksi dan memberikan komentar.
Bila yang ditampilkan sebuah photo sebenarnya adalah sesuatu yang wajar-wajar saja kita perlu meninjau segmentasi viewer. Apakah kebanyakan dari viewer adalah orang yang diyakini akan menyalahgunakan foto itu atau tidak ?
فكل ما كان ذا استعمالين جاز بيعه والإتجار فيه وتكون مسئوليته على المستعمِل فإن استعمله في الحلال فحلال وإن استعمله في الحرام فعليه إثم الحرمة والله تعالى اعلى واعلم
“Segala sesuatu yang memiliki fungsi ganda, halal dan haram, boleh dibeli atau dijual (transaksi pemindahan yang lain). Yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah penggunanya. Bila dipakai untuk yang halal hukumnya halal, bila disalahgunakan untuk yang haram, bagi pengguna itulah dosa perbuatan haram itu.” (Syaikh Ali Jum’ah, al-Bayan Lima Yusyghiluhu al-Adzhan, [al-Maqtham Lin Nasyri wa Tawri’, 2005], halaman 366.)
وتحصيل مظنة المعصية معصية ونعني بالمظنة ما يتعرض الإنسان به لوقوع المعصية غالبا بحيث لا يقدر على الانكفاف عنها فإذا هو على التحقيق حسبة على معصية راهنة لا على معصية منتظرة
“Tindakan yang berpotensi bisa menimbulkan/memicu maksiat adalah maksiat. Yang saya maksud dengan berpotensi maksiat adalah sesuatu yang secara umum memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat. Hal ini sekiranya pada umumnya orang tidak mampu menahan diri dari maksiat itu. Dengan prinsip ini tindakan pemicu maksiat bisa dianggap sebagai maksiat konkret bukan sekadar maksiat dalam kemungkinan.” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, [Semarang, Maktabah Karya Thoha Putra, tt], juz 2, halaman 330.)
Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua foto cantik yang dipajang di media sosial merupakan pelanggaran terhadap syariat. Memahami hukum secara lebih luas dan memahami risiko bermedia sosial akan membuat kiat lebih bijak dan tidak gampang melabeli dosa orang lain.
Wallahu a’lam
Reference source : Fanspage Facebook Fmpp Putri Jatim