Seiring bencana melanda berbagai kawasan di Nusantara, muncul berbagai tulisan di media yang mengaitkannya dengan ajaran-ajaran agama. Ironisnya, ada sebagian yang mempersepsikan bahwa bencana datang karena kemusyrikan. Tentu hal ini mengundang tanya, “Apakah benar seperti itu dan bagaimana menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah?”
Tafsir Ayat Bencana
Di awal tulisan ini perlu ditegaskan, bahwa persepsi semacam itu tidak tepat menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Jawaban semacam ini dapat dirujukkan dalam tafsir-tafsir otoritatif di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya dalam tafsir firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
Artinya, “Dan tidaklah Tuhanmu akan menghancurkan suatu negeri sebab kemusyrikan sementara penduduknya adalah orang-orang yang baik (dalam relasi sosialnya),” (Surat Hud ayat 117).
Merujuk Mafatihul Ghaib karya ulama ahli tafsir Ahlussunnah wal Jamaah asal kota Ray, Iran sekarang, Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M), kata ‘zhulmin’ dalam ayat bermakna kemusrikan sesuai ayat:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ.
Artinya, “Dan ketika Luqman berkata kepada anak lelakinya dalam rangka menasehatinya: ‘Wahai anakku, jangan Engkau sekutukan Allah, sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang besar,’” (Surat Luqman ayat 13).
Dengan demikian makna ayat secara lengkap adalah, Allah Ta’ala tidak akan menghancurkan suatu negeri hanya karena penduduknya adalah orang-orang musyrik, sementara dalam relasi sosial (mu’amalah) antarsatu dengan lainnya terjaga secara baik. Tidak saling melakukan dosa sosial manusia antarsatu terhadap lainnya. Kehancuran suatu negeri tidak akan terjadi karena penduduknya meyakini kesyirikan dan kekufuran, namun karena mereka saling menyakiti, menjahati, menzalimi, dan mengumbar dosa-dosa sosial lainnya.Dalam konteks inilah para fuqaha merumuskan:
إِنَّ حُقُوقَ اللهِ تَعَالَى مَبْنَاهَا عَلَى الْمُسَامَحَةِ وَالْمُسَاهَلَةِ وَحُقُوقَ الْعِبَادِ مَبْنَاهَا عَلَى الضَّيِقِ وَالشُّحِّ.
Artinya, “Hak-hak Allah dibangun pada prinsip keringanan dan kemudahan, sementara hak-hak manusia dibangun pada prinsip keketatan dan kedisiplinan.”
Sementara dalam suatu atsar dibahasakan:
اَلْمُلْكُ يَبْقَى مَعَ الْكُفْرِ وَلَا يَبْقَى مَعَ الظُّلْمِ.
Artinya, “Suatu kerajaan (pemerintahan) akan langgeng meskipun disertai kekufuran dan tidak akan langgeng bila disertai dengan kezaliman.”
Lebih lanjut Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi menegaskan:
فَمَعْنَى الآيَةِ وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ، أَيْ لَا يُهْلِكُهُمْ بِمُجَرَّدِ شِرْكِهِمْ إِذَا كَانُوا مُصْلِحِينَ يُعَامِلُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا عَلَى الصَّلَاحِ وَالسَّدَادِ وَهَذَا تَأْوِيلُ أَهْلِ السُّنَّةِ لِهَذِهِ الْآيَةِ
Artinya, “Maka makna ayat ini (Surat Hud ayat 117), ‘Tidaklah Tuhanmu akan menghancurkan suatu negeri sebab kemusyrikan …’ adalah Allah tidak akan menghancurkan penduduk suatu negeri sebab kemusyrikannya, selama mereka adalah orang-orang yang baik dalam relasi sosialnya. Sebagian orang berhubungan (bermu’amalah) dengan yang lain berdasarkan kebaikan dan kebenaran.”
Bukankah azab Allah turun kepada kaum-kaum terdahulu seperti kaum Nabi Nuh, Nabi Hud, Shalih, Nabi Luth dan Nabi Syuaib AS karena mereka saling menyakiti dan menzalimi antarsatu dengan lainnya? Demikian tegas Imam Ar-Razi. (Lihat Fakhruddin Muhammad ibn Umar Ar-Razi, Tafsirul Fakh ar-Razi, [Bairut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M], cetakan pertama, juz XVIII, halaman 77-78).
Kontekstualisasi Ayat Dosa-dosa Sosial Manusia
Berdasarkan penafsiran ulama Ahlussunnah wal Jamaah di atas, maka sangat tidak benar mengaitkan bencana alam dengan kemusyrikan. Justru bencana alam datang karena dosa sosial manusia, kejahatan dan aksi sakit-menyakiti di antara mereka. Tidak memandang latar belakang agama, apakah beriman atau pun tidak. Bila demikian, caci-maki, bully-membully dan dosa-dosa sosial manusia dewasa ini, di media sosial dengan berbagai platformnya atau pun di dunia nyata, tidakkah sangat berperan mengundang datangnya bencana? Masihkah dosa-dosa sosial manusia akan diteruskan karena alasan ekonomi, politik, maupun alasan remeh-temeh lainnya? Na’uzubillah. Wallahu a’lam.
Sumber: nu.or.id