DOSA-DOSA PELEBUR PAHALA PUASA

0
1762

DOSA-DOSA PELEBUR PAHALA PUASA
dari Orang Awam hingga Ulama

Puasa secara bahasa bermakna mencegah. Sedangkan menurut syar’i adalah mencegah dari hal-hal yang membatalkan dengan niat tertentu di sepanjang hari yang boleh dipuasai, yang dilakukan oleh orang Islam yang berakal dan suci dari haid dan nifas (al-Bajuri, II/550-551). Sebab itu, orang yang berpuasa hendaknya semaksimal mungkin menghindari dosa dalam ucapan, perbuatan, dan hati-pikirannya, untuk benar-benar mewujudkan makna “mencegah” dari puasanya. Lalu dosa apa saja yang harus dihindari? Apa akibatnya? Bagaimana riwayat haditsnya?

Sebenarnya semua dosa harus dihindari, namun yang lebih ditekankan bagi orang yang berpuasa adalah dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menggunjing, dan mencaci-maki. Sebab, selain membuat dosa, perbuatan-perbuatan itu menghapus pahala puasa. Terkait hal ini Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari (w. 987 H/1579 M) dalam karyanya Fath al-Mu’in (II/416) mengatakan:

وَمِمَّا يَتَأَكَّدُ لِلصَّائِمِ كَفُّ اللِّسَانِ عَنْ كُلِّ مُحَرَّمٍ كَكَذِبٍ وَغِيبَةٍ وَمُشَاتَمَةٍ، لِأَنَّهُ مُحْبِطٌ لِلْأَجْرِ كَمَا صَرَّحُوا بِهِ وَدَلَّتْ عَلَيْهِ الْأَخْبَارُ الصَّحِيحَةِ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِي وَالْأَصْحَابِ وَأَقَرَّهُمْ فِي الْمَجْمُوعِ. وَبِهِ يُرَدُّ بَحْثُ الْأَذْرَعِيِّ حُصُولَهُ، وَعَلَيْهِ إِثْمُ مَعْصِيَّتِهِ.

“Di antara hal yang ditekankan untuk orang berpuasa adalah menjaga lisan dari segala keharaman seperti berbohong, menggunjing, dan mencaci-maki. Sebab, dapat melebur pahala puasanya, seperti dijelaskan secara terang-terangan oleh ulama, ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih, dinash oleh Imam as-Syafi’i dan para muridnya, dan diakui oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Dengan ini tertolaklah pembahasan al-Adzrai yang menyatakan bahwa pahalanya tetap didapatkan. Selain itu, pelakunya juga menanggung dosa atas maksiat yang dilakukannya.”

Maksud kata “lebih ditekankan” dalam konteks ini adalah, bila orang yang berpuasa tidak menggunjing orang lain misalnya, maka ia akan mendapat dua pahala: (1) pahala wajibnya menjaga lisan dari menggunjing, dan (2) pahala sunnah karena hal itu dilakukan saat berpuasa. Begitu pula bila dia menggunjing, ia akan mendapatkan dua balasan: (1) balasan dosa menggunjing, dan (2) balasan terhapusnya pahala puasa sebagai sanksi tambahan karena tidak menghindarkan puasa darinya. Demikian penjelasan al-‘Allamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi. (I’anah at-Thalibin, II/416).

Di antara dalil yang menyatakan bahwa dosa-dosa lisan, seperti berbohong, menggunjing, dan mencaci-maki menggugurkan pahala puasa adalah sabda Nabi Saw:

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ. فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ. وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّى صَائِمٌ. مَرَّتَينِ. (رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ)

“Puasa adalah perisai, maka jangan berkata kotor dan berbuat bodoh. Bila seseorang memerangi orang yang sedang berpuasa atau mencaci-makinya, maka katakanlah: “Sungguh aku sedang berpuasa”, dua kali.” (HR. al-Bukhari)

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. (رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ)

“Orang yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan keji, maka Allah tidak membutuhkan puasanya meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari)
Maksud kata “ucapan keji” menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah kebohongan, dan menurut al-Qari adalah ucapan batil (yang tidak benar). Sedangkan menurut al-Mubarakfuri, secara praktis maknanya mencakup ucapan kufur, persaksian palsu, kebohongan, menggunjing, menuduh, mencaci-maki, dan segala ucapan yang haram dan harus dihindari. (Tuhfah al-Ahwadzi, III/320).

Sementara yang dikehendaki dengan kalimat: “Allah tidak membutuhkan puasanya”, adalah sebagai ungkapan, bahwa Allah tidak menerima puasanya yang juga berarti pelakunya tidak berhak mendapatkan pahala. Kalimat ini tidak dapat dipahami dengan makna sebenarnya, karena Allah tidak membutuhkan apapun. (Faidh al-Qadir, VI/290).

اَلصِّيَام جُنَّةٌ مَالَمْ يَخْرِقْهَا. (رواه النسائي بإسناد حسن وابن خزيمة في صحيحه والبيهقي). ورواه الطبراني في الأوسط من حديث أبي هريرة وزاد: قيل: وَبِمَ يَخْرِقُهَا؟ قَالَ: بِكَذِبٍ أَوْ غَيْبَةٍ.

“Puasa adalah perisai selama tidak dihancurkan.” (HR. An-Nasa’i, dengan sanad hasan, Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi). At-Thabarani menambah redaksi: “Ditanyakan: “Dengan apa ia menghancurkannya?” Nabi Saw menjawab: “Dengan kebohongan dan gunjingan.”

Dari beberapa hadits dan keterangan ulama menjadi jelas, bahwa adalah dosa-dosa lisan seperti berbohong, menggunjing, dan mencaci-maki menyebabkan terhapusnya pahala puasa, sehingga semestinya dihindari demi meraih ibadah yang sempurna.

Lebih jauh al-Imam Abdul Wahhab bin Ahmad as-Sya’rani berpesan, agar kita tidak menganggap sepele hal ini, meskipun Ulama-ulama besar pun tidak terlepas darinya. Kita harus lebih menghindarinya daripada di selain bulan Ramadhan, karena dianjurkan oleh Nabi Saw. Kita tidak boleh tertipu dengan ulama yang juga melakukannya. Justru kita harus lebih serius menghindarinya daripada mereka, sebab derajat kita di sisi Allah jauh lebih rendah daripada mereka. Besar kemungkinannya Allah tidak mengampuni kita namun mengampuni mereka, karena kecintaan Allah terhadap mereka. (Al-‘Uhud al-Muhammadiyyah, 311).

Oleh:
Ahmad Muntaha AM
Sumber:

  1. Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyyah as-Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibn al-Qasim al-Ghazi, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999 M), cet. Ke-2, Juz II, h. 550-551.
  2. Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari dan Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah at-Thalibin, Juz II, h. 416.
  3. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhwah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz III, h. 320.
  4. Al-Munawi, Faidh al-Qadir, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M), Juz VI, h. 290.
  5. Abdullah Sirajuddin al-Husaini, as-Shiyam Adabuh wa Mathalibuh wa Fawaiduh wa Fadhailuh, (Halab: Maktabah Dar al-Falah, tth.), h. 15-16.
  6. Abdul Azhim bin Abdil Qawi al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1417 H), edisi Ibrahim Syamsuddin, Juz II, h. 94.
  7. As-Sya’rani, al-‘Uhud al-Muhammadiyyah, h. 311.

Ilustrasi : kushandwizdom