Beda Baca Kitab Ala Dua Kiai Lirboyo

0
2701

KH. Mahrus Ali, pengasuh pondok pesantren Lirboyo pernah dawuh,

” من ارجع الضمائر الى الافعال فليس من الرجال “

Siapa yang merujukkan dhamir kepada fi’il, maka bukan termasuk golongan lelaki (orang yang berpengetahuan)” (KH. Mahrus Aly) 

Jadi, tatkala membaca kitab dengan makna Jawa, setiap menemukan dhamir yang terkesan rujuk pada kalimat fi’il, maka KH. Mahrus Aly selalu akan merujukkan pada bentuk mashdarnya, seperti lafadz:

 اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Dhamir هو rujuknya bukan pada lafadz اعدلوا, melainkan rujuk pada lafadz عدلكم yang menjadi bentuk mashdarnya. Sebab dhamir adalah kalimat isim, karenanya marja’nya pun juga harus berupa kalimat isim. Disamping memang yang dikehendaki dari dhamir semacam itu adalah makna yang terkandung dari kalimat fi’il itu, yaitu mashdarnya bukan lafadz dari kalimat fi’il itu sendiri.

Sementara KH. Marzuqi Dahlan tidaklah demikian. Beliau selalu merujukkan dhamir pada kalimat fi’il, seperti pada ayat di atas beliau memaknainya: هو utawi اعدلوا

     Suatu hari, ketika sedang membacakan kitab dan ada dhamir yang seperti contoh di atas, KH. Mahrus Aly sambil tersenyum berkata:

 من ارجع الضمائر الى الافعال فليس من الرجال

Barangsiapa merujukkan kalimat-kalimat dhamir pada kalimat-kalimat fi’il, maka dia bukanlah seorang laki-laki (orang yang mengerti tentang bahasa Arab).

Tentu saja dawuh itu membuat santri-santri yang sedang mengikuti pengajian beliau menjadi tersenyum semua.

Beberapa hari kemudian, ketika KH. Marzuqi Dahlan sedang membacakan kitab dan ada dhamir yang seperti di atas, beliau tetap merujukkan pada kalimat fi’il sambil berkata dengan tersenyum: “Wes, ora lanang ora popo kang yo, seng penting ndang faham” (Sudahlah, tidak dianggap laki-laki ya tidak apa-apa, yang penting segera bisa dipaham dan dimengerti).

Hal itu tentu saja juga membuat para santri yang mengikuti pengajian beliau akhirnya tertawa disertai dengan penuh keheranan, dari mana beliau bisa tahu dawuhnya Kiai Mahrus Aly?

KH. Mahrus Aly memang jarang sekali memberikan makna ketika membaca kitab, justru beliau lebih sering memberikan tafsiran dengan bahasa Arab pula, اي .. اي .. seperti itu.

Sehingga hanya santri-santri yang sudah punya bekal cukup dalam penguasan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah saja yang mampu benar-benar mengikuti pengajian beliau. Karena itu beliau sangat disiplin dalam menerapkan aturan-aturan tata bahasa Arab ketika membacakan kitab kepada mereka, termasuk ketika merujukkan dhamir yang seperti contoh di atas.

Sementara KH. Marzuqi Dahlan selalu memberikan makna yang lengkap ketika membacakan kitab. Sehingga yang mengikuti pengajian beliau tidak hanya santri-santri yang sudah punya kemampuan cukup saja, tetapi banyak pula diikuti oleh para santri yang masih tingkatan pemula. Karena itu beliau lebih memilih pendekatan makna yang segera mudah dipahami para santri yang mengikuti pengajian beliau meski sebenarnya itu kurang pas dengan aturan tata bahasa Arab.

Sebab, menurut beliau, kalau setiap dhamir dirujukkan pada bentuk mashdarnya tentu akan menyulitkan para santri tingkat pemula dalam mencari rujuknya, terlebih ketika bentuk mashdarnya berbeda jauh dengan bentuk fi’ilnya.

Walhasil, meski beliau berdua berbeda metode dalam memberikan pengajian, tetapi tetap berdasar pada dawuh:

كلموا الناس على قدر عقولهم

Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka.”

Itulah mungkin makna tersirat yang ingin disampaikan beliau berdua terhadap para santrinya atas perbedaan dalam merujukkan dhamir, bahwa dalam menyampaikan ilmu pada masyarakat kelak haruslah menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan masyarakatnya.

Wallahu a’lam. 

(Sumber cerita: Ust. Anang Darunnajah, Jamsaren, Kediri.)