Bulan Shafar hampir berakhir, biasanya mendekati akhir bulan Shafar akan muncul polemik “tahunan” tentang bagaimana hukum menjalankan salat Rebo Wekasan. Atau salat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar.
Bagaimana Islam memandang hal tersebut? Bagaimana sikap kita seharusnya?
Hukum Shalat Rabu Wekasan
Dalam fikih secara tegas memang tidak pernah ada tuntunan langsung untuk menjalankan salat Rebo Wekasan. Akan tetapi memang ada banyak hadis yang menyatakan bahwa hari Rabu terakhir merupakan hari yang naas.
آخِرُ أربعَاءَ في الشَّهْرِ يومُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ
“Hari Rabu akhir bulan merupakan hari naas yang berkesinambungan.” (Al-Hadis)
Banyak hadis dengan redaksi yang hampir sama, namun derajat hadis tersebut dha’if, bahkan ada yang mengatakan maudhu’. Akan tetapi meskipun bukan hadis sahih, kita tetap boleh meyakini berbagai hadis tersebut hanya sebatas amaliah, bukan fatwa. Kita boleh-boleh saja waspada akan isi peringatan dalam hadis tersebut.
Dalam syariat memang tidak ada keterangan tentang salat Rabu Wekasan, tetapi ada referensi tentang salat isti’adzah (mohon perlindungan dari marabahaya), yang tidak terkhusus dilakukan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar saja.
ومنه صلاة الإستعاذة وهي ركعتان بعد صلاة الضحى ينوي بهما سنة الاستعاذة يقصد بهما أن الله يعيذه من شر يومه وليلته يقرأ في الأولى بعد الفاتحة سورة {قل أعوذ برب الفلق} ١١٣ الفلق الآية ١ وفي الثانية بعد الفاتحة سورة {قل أعوذ برب الناس} ١١٤ الناس الآية ١ ثم يدعو بدعاء الاستعاذة وهو بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وسلم اللهم إني أعوذ بك من خليل ماكر عيناه ترياني وقلبه يرعاني إن رأى حسنة دفنها وإن رأى سيئة أذاعها اللهم إني أعوذ بك من يوم السوء وأعوذ بك من ليلة السوء وأعوذ بك من ساعة السوء وأعوذ بك من صاحب السوء وأعوذ بك من جار السوء في دار المقام وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
“Termasuk salat dzusabab (salat sunnah yang memiliki sebab untuk dilakukan) adalah salat Isti’adzah. Yaitu salat dua rakaat setelah melaksanakan salat dhuha, yang diniatkan untuk memohon perlindungan, dengan tujuan agar Allah Subhanahuwata’ala melindungi dirinya dari keburukan siang dan malam hari itu. Setelah membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat al-Falaq di rakaat pertama, dan surat an-Nas di rakaat kedua. Kemudian berdoa dengan doa Isti’adzah.” (Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, [Beirut, Darul Fikr, tth.], Hal. 107.)
Mengapa Bala’ dan Musibah Tersebut Ditangkal dengan Salat?
Salat merupakan ibadah yang dapat melindungi seseorang dari musibah dan penyakit. Ada sekian banyak referensi dalil yang menyatakan hal tersebut. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. Al-‘Ankabut: 45)
Terlebih salat merupakan muntaha dzikri, paripurna dan puncak zikir kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Ketika nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam mendapat wahyu untuk berdakwah secara terang-terangan, beliau memiliki sifat basyariyah (manusiawi), gentar kepada orang musyrik yang belum pernah mengenal agama Islam pada awalnya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud (salat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 97-99)
Saat nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam berdakwah secara terang-terangan, beliau diperintahkan untuk menjalankan salat terlebih dahulu.
Juga kebiasaan nabi, ketika menghadapi sesuatu yang menyusahkan hati beliau, beliau bersegera untuk menjalankan salat.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam ketika mengalami kesedihan beliau menjalankan salat.” (H.R. Abu Dawud)
Bahkan dalam salah satu ayat Alquran, Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan kita meminta pertolongan dengan perantara melaksanakan salat.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Q.S. Al-Baqarah: 45)
Jelaslah manfaat salat yang sangat besar. Dengan dalil yang sekian banyak dari beragam redaksi Al-Qur’an dan hadis.
Mengartikan Ikhlas dalam Salat dan Ibadah
Akan tetapi, bagaimanakah bila secara terang-terangan orang menyengaja berdoa atau salat agar suatu hajat bisa tercapai?
Dianalogikan dalam kasus makmum yang mengucapkan dzikir “subhanallah” ditengah-tengah salat dengan hanya niat sengaja mengingatkan imam, maka salatnya menjadi batal. Tentunya kalimat “subhanallah” tersebut dengan sendirinya sudah bisa mengingatkan sang imam jika lupa, tanpa perlu diniati. Tujuan membaca kalimat tasbih tersebut agar salat si makmum tidak batal, seharusnya adalah murni zikir kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Sama dengan ketika ada banyak bala’ dan musibah, maka dianjurkan menjalankan salat. Sebenarnya tak perlu diniatkan secara langsung kita menjalankan salat agar musibah dan bala’ tersebut hilang.
Sebab suatu bentuk ibadah walaupun memiliki faidah yang beragam, seperti misalnya membaca surat al-Waqi’ah mempunyai khasiat bisa menjadikan seseorang tercukupi rizkinya, melaksanakan salat dapat menjadi penolak musibah, dan lain sebagainya, tapi hal itu tak perlu menjadi tujuan utama seseorang.
Niat yang paling penting adalah semata-mata melakukan itu semua karena Allah Subhanahuwata’ala. Maka dengan sendirinya semua faidah dari ibadah yang dilakukan Insyaallah akan tercapai dengan sendirinya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ. أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Hud: 15-16)
Maka, bila tujuan seseorang menjalankan salat dhuha misalnya, adalah agar mendapatkan rejeki yang melimpah, justru dia tidak akan mendapatkan ganjaran apapun. Yang ada malah berpotensi mendapatkan dosa.
Kesimpulan
Menjalankan salat sunah tidak pernah dilarang. Sebab salat adalah ibadah yang sangat besar manfaatnya. Kita boleh melaksanakan salat kapan saja selain pada lima kondisi yang diharamkan, seperti setelah melakukan salat subuh, salat ashar, dan seterusnya yang dibahas dalam kitab-kitab fikih.
Akan tetapi, sepatutnya hati-hati saat menjalankan salat di Rabu terakhir bulan Shafar, jangan sampai diniatkan menghilangkan bala’ dan musibah. Namun tujuan yang seharusnya adalah tetap untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahuwata’ala. Maka dengan sendirinya segala marabahaya akan hilang, Insyaallah.
Saat menjalankan salat kita melakukannya dengan niat yang ikhlas, dan setelah selesai salat kita bisa berdoa juga menyampaikan semua hajat kita. Memohon kepada Allah Subhanahuwata’ala agar terhindar dari musibah, bala’, dan lain sebagainya.
Tatkala kita salat karena mengharapkan imbalan, artinya salat kita “tidak jujur” karena Allah Subhanahuwata’ala, dan ketika ibadah kita “tidak jujur” karena Allah Subhanahuwata’ala, kita tidak berhak mendapatkan ganjaran apapun.
Wallahu a’lam.
Transkrip kajian ilmiah Islam K.H. Azizi Hasbullah (Dewan perumus LBM PBNU.)