Sirah Nabawiyah [7]: Anti Mukjizat Berkedok Modernisasi Agama

0
1029
Anti Mukjizat Berkedok Modernisasi Agama

Modernisasi agama menjadi dasar pemikiran menundukkan agama demi superioritas sains mulai menyusup di kalangan pemikir Mesir. Lalu bermunculan buku-buku dan artikel tentang sejarah Nabi saw. yang tidak lagi tunduk pada parameter validasi riwayat, rangkaian transmisi (sanad), dan kaidah dan syarat penuturan hadits. Padahal kaidah ini sudah mapan selama berabad-abad. Kaidah ini diganti dengan penalaran pribadi, senang tidak senang, dan metodologi berpikir yang hanya didorong oleh motivasi kesenangan, kepentingan, dan aliran yang dianut oleh penyusun.

Berpedoman pada pemikiran ini, para penulis itu menjauhi segala sesuatu yang melanggar kebiasaan—segala sesuatu yang masuk kategori mukjizat dan keluarbiasaan lain (irhas pada masa kecil dan remaja Nabi saw.)—dalam penulisan biografi Nabi. Mereka berpindah memopulerkan kejeniusan, keagungan, heroisme, dan sifat unggul lainnya untuk mengalihkan fokus pembaca dari ketidakbiasaan berupa kenabian, wahyu, risalah, dan hal-hal lain pada tema utama pribadi Nabi saw.

Baca juga: Sirah Nabawiyah [2]: Cara yang Benar untuk Memahaminya Saat Ini

Contoh paling terkenal dari buku-buku ini adalah buku “Sejarah Hidup Muhammad” (terbit dalam bahasa Arab pada tahun 1935) karangan Husain Haikal (wafat 1956). Sebagai efek pemikiran ‘modernisasi agama’ dia menunjukkan orientasinya pada aliran pemikiran baru ini dengan bangga berkata:

“Aku tidak mengutip catatan yang dimuat oleh kitab-kitab Sirah (biografi) dan hadis, karena aku lebih senang melakukan penelitian dengan metode ilmiah”.

Termasuk contoh tulisan yang mengikuti aliran pemikiran baru dalam penulisan dan pemahaman biografi Nabi saw. adalah kutipan-kutipan yang dipublikasikan oleh almarhum Farid Wajdi (w. 1954) dalam majalah Nurul Islam dengan judul “Biografi Muhammad di Bawah Cahaya Sains dan Filsafat”. Beliau berkomentar: 

“Pembacaku mengamati tulisanku tentang biografi Nabi saw., mereka menghendaki agar aku tidak berlebihan dalam menjelaskan aspek mukjizat selama masih memungkinkan untuk diberi alasan normal/biasa meskipun dengan sedikit memaksa”.

Contohnya lagi, banyak sekali tulisan-tulisan orientalis tentang kehidupan Nabi yang mengikuti metodologi subjektif (memasukkan penilaian, pemikiran, dan asumsi pribadinya) sebagaimana sudah dijelaskan tadi.

Bisa dilihat mereka memuliakan pribadi Muhammad saw. dan mencatat keagungan dan sifat-sifat terpuji beliau. Tetapi prinsip modernisasi agama ini menjauhkan segala sesuatu yang mengingatkan pembaca tentang makna kenabian atau wahyu dalam hidup beliau. Juga jauh sekali dari memprioritaskan rangkaian transmisi (sanad) dan riwayat yang seharusnya mereka pegang untuk sampai pada keyakinan akan terjadinya sebuah peristiwa. Mereka tidak merasa berkepentingan akan hal itu.

Begitulah kronologi sekolah baru yang mengikuti aliran subjektif dalam penulisan sejarah bermunculan. Materi pembahasan yang luas memungkinkan mereka membuang bagian yang tidak mereka kagumi dari biografi Nabi padahal sudah didukung oleh dalil ilmu dan keyakinan. Mereka menjadikan kecenderungan, kesenangan, dan tujuan pribadi sebagai pemvonis mutlak atas esensi sejarah dan menguraikan faktor-faktor di belakangnya. Juga sebagai peradilan mutlak untuk memutuskan bagian yang layak diterima dan bagian yang harus dibuang.

Kita bisa melihat semua khawariq (yang menyalahi kebiasaan) yang diceritakan oleh hadis mutawati, bahkan kadang dijelaskan langsung oleh Al Qur’an—meskipun dengan memaksa dan mengada-ada—ditakwil sehingga sesuai dengan kebiasaan dan menjadikannya selaras dengan tujuan mereka.

Misalnya:

طير Ø£Ø¨Ø§Ø¨ÙŠÙ„

dari ayat yang begitu jelas, malah ditafsirkan sebagai cacar.

Isra mikraj yang juga dijelaskan dengan jelas oleh redaksi Al-Qur’an ditafsirkan sebagai wisata jiwa dan alam mimpi. Dan malaikat yang menolong umat muslim dalam perang Badar ditafsirkan sebagai dukungan moral.

Baca juga: Isra Mikraj dan Musik: Ekspresi Cinta kepada sang Baginda

Dan yang paling menggelikan dan aneh dari metodologi ini adalah menafsirkan kenabian, keimanan para sahabat, dan perluasan wilayah Islam hanyalah revolusi kiri yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi untuk merebut kelimpahan rizki dan dikobarkan oleh tindakan orang-orang miskin untuk melawan orang kaya dan pemilik modal.

Jelas sudah aliran kajian biografi Nabi saw. dan sejarah ini adalah tipuan berbahaya yang tidak terlihat oleh mata muslim awam dan sesuai dengan keinginan, sehingga diterima dengan baik bagi kalangan munafiq dan pengikut hawa nafsu.

Bersambung.

Referensi: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Salam, 2021), Hal. 33-35